Selasa, 12 November 2013

Kisah Bu Guru Kembar dan Lika-liku Sekolah Gratis Kartini

Matahari sedang terik-teriknya, sinarnya menyengat. Di kompleks pergudangan di Lodan Raya, pinggir rel kereta api, jalanan sangat berdebu. Truk bermacet-macetan, para kuli pun hiruk-pikuk mengerjakan tugasnya. Namun, siapa sangka, di tengah-tengah kompleks pergudangan di Jakarta Utara itu, terselip sebuah sekolah.

Sekolah itu bernama Sekolah Darurat Kartini. Bangunannya kumuh, besarnya hanya 20x5 meter, ditutupi dengan cat merah muda yang sudah terkelupas diterpa hujan dan teriknya matahari. Dari pagi hingga siang hari, sekolah itu dipenuhi dengan suara anak-anak. Suara tersebut seperti memberi warna yang berbeda di kompleks pergudangan itu.

Perbedaan tidak hanya terlihat dari kehadirannya di tengah kompleks pergudangan, tetapi secara eksistensi, sekolah itu berbeda pada umumnya. Di sekolah ini, tiap murid yang mau belajar, tidak dipungut biaya sepeser pun, berbeda dengan sekolah zaman sekarang yang mulai komersil. Selain tidak diberatkan oleh iuran sekolah, anak-anak tersebut juga diberikan makan siang dan seragam gratis kepada siswa yang baru, itu pun juga diberikan secara cuma-cuma.

Adalah Rossy dan Rian, pelopor dari sekolah ini, kedua wanita paruh baya yang merupakan kembar identik."Kami melihat dan timbul rasa ingin berbagi. Kami ingin menjadikan anak-anak ini seperti anak kandung kami. Semua (anak-anak Rossy dan Rian) sudah sukses," tutur Rossy.

Itulah alasan awal yang mendasari mereka untuk membangun sekolah gratis ini. Kemudian ketika ditanya, mengapa sekolah ini tidak dipungut bayaran, Rian hanya menjawab dengan ringan, "Mereka ini kan anak-anak pemulung, mau bayar pakai apa? Ya, kita gratiskan saja," ungkap Rian.

Sekolah gratis ini sudah berdiri lumayan lama, yaitu selama 22 tahun. "Sekolah ini sudah berdiri 22 tahun, sudah banyak lulusannya," jelas Rian, guru berumur 62 tahun ini.

Rentang waktu yang lama tersebut, tidak dapat terjaga apabila Rossy dan Rian tidak memiliki kekompakan, terutama terlihat dari cara mereka berpakaian. Saat ditemui detikcom, Bu Guru Kembar --sapaan akrab kedua wanita itu, memakai pakaian serba hijau. Topi anyam hijau, baju hijau, dan celana pendek hijau. Kompak di pakaian, juga kompak soal visi dan misi. Berkat kesamaan visi dan misi itulah, Bu Guru Kembar ini mampu mempertahankan sekolah hingga 22 tahun.


Sekolah ini mengajar semua jenjang, dari TK hingga SMA. "Total siswa kami ada 596 siswa," jelas Rossy sembari menenangkan para siswa-siswanya. "Di sini, kami mengajarkan sesuai Kemendikbud. Itu kami lakukan supaya anak-anak ini bisa ikut ujian negara," terang Rian.

Selain itu, para siswa yang jumlahnya ratusan ini tidak hanya diajarkan pelajaran-pelajaran yang ditetapkan Kemendikbud, mereka juga diajarkan berbagai macam keterampilan di luar pelajaran sekolah pada umumnya. "Kami ajarkan keterampilan membatik, membuat rajutan, bakery, masak, membetulkan motor, dan tata rias. Semua diajarkan oleh kami berdua," ucap Rian.

Apa yang diutarakan oleh Guru Kembar ini langsung terlihat. Pukul 13.20 WIB, para satu anak kelas 6 SD dan dua anak kelas 1 SMP, terlihat sibuk di depan sekolah. Semua bekerja sesuai tugasnya masing-masing, ada yang menanak nasi, ada yang memotong sayuran, dan ada yang mengawasi api. Kala itu, mereka memasak sup ayam dan tempe goreng.



"Di sini, kita memang menyediakan makan siang untuk anak-anak. Tapi, yang masak itu anak-anak juga. Ada piketnya, semua ada giliran," kata Rian.

Ketika ditanya soal mengapa sekolah seperti ini masih hadir, padahal semua sekolah negara sudah digratiskan, Rian menjawab dengan antusias dan nada yang cukup tinggi. "Tahun 2006, anak-anak semuanya dipindahin ke sekolah negeri, saat itu waktu kita kena gusur. Tapi, pada akhirnya, semua balik kemari. Mereka nggak sanggup bayar LKS, itu salah satu alasan," terang wanita yang tinggal di Kelapa Gading ini.

Kini, Sekolah Darurat Kartini mendapat kendala. Kendala yang sama, kendala yang selalu terjadi berulang-ulang, kendala yang seperti menghantui ke mana pun mereka pergi. Kendala itu adalah penggusuran.

"Kami akan digusur minggu depan, karena ini tanah milik PT. KAI," ucap Rian, dengan sedikit menghela nafas. "Tapi, ya mau bagaimana lagi. Ini bukan tanah kita, kita juga tidak bayar, ya kita pindah saja," tambahnya.





Selama 22 tahun sekolah gratis ini berdiri, sekolah ini sudah mengalami penggusuran sebanyak empat kali. "Ini (penggusuran kali ini) akan menjadi yang kelima. Kami terima saja," ucap Rossy. Nantinya, sekolah ini akan pindah ke bawah kolong jalan tol.

Berbeda dengan Bu Guru Kembar, para orangtua yang ditemui dan diwawancarai, mengaku keberatan apabila sekolah ini digusur. Adalah Rita, ibu rumah tangga yang berumur 25 tahun, yang menyatakan rasa keberatannya.

"Di sini sudah enak. Kehadiran sekolah ini sudah banyak membantu. Sayang, mau digusur. Kalau pindah, saya bisa tambah jauh ke sekolahnya. Saya dan anak saya, jalan kaki dari Bandengan soalnya," tukas Rita.

Hal senada juga diungkapkan oleh Aji. Bocah laki-laki yang berkulit sawo matang dan berumur 10 tahun ini mengatakan bahwa ia tahu akan adanya penggusuran karena sudah betah belajar di sekolah ini, ia sangat menyayangkan apabila harus pindah.

Anisa, teman sebangku Aji, juga menceritakan kalau pindah di bawah jalan tol, maka proses belajar akan terganggu. "Kalau di sini kan adem, kalau di bawah jalan tol panas," ucapnya.

Sampai berapa kali lagi, anak-anak dari golongan miskin ini harus berpindah-pindah lokasi belajar?

 

Sumber: http://news.detik.com/read/2012/07/20/182450/1970949/10/1/kisah-bu-guru-kembar-dan-lika-liku-sekolah-gratis-kartini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar