Matahari sedang terik-teriknya, sinarnya menyengat. Di kompleks
pergudangan di Lodan Raya, pinggir rel kereta api, jalanan sangat
berdebu. Truk bermacet-macetan, para kuli pun hiruk-pikuk mengerjakan
tugasnya. Namun, siapa sangka, di tengah-tengah kompleks pergudangan di
Jakarta Utara itu, terselip sebuah sekolah.
Sekolah itu bernama
Sekolah Darurat Kartini. Bangunannya kumuh, besarnya hanya 20x5 meter,
ditutupi dengan cat merah muda yang sudah terkelupas diterpa hujan dan
teriknya matahari. Dari pagi hingga siang hari, sekolah itu dipenuhi
dengan suara anak-anak. Suara tersebut seperti memberi warna yang
berbeda di kompleks pergudangan itu.
Perbedaan tidak hanya
terlihat dari kehadirannya di tengah kompleks pergudangan, tetapi secara
eksistensi, sekolah itu berbeda pada umumnya. Di sekolah ini, tiap
murid yang mau belajar, tidak dipungut biaya sepeser pun, berbeda dengan
sekolah zaman sekarang yang mulai komersil. Selain tidak diberatkan
oleh iuran sekolah, anak-anak tersebut juga diberikan makan siang dan
seragam gratis kepada siswa yang baru, itu pun juga diberikan secara
cuma-cuma.
Adalah Rossy dan Rian, pelopor dari sekolah ini, kedua
wanita paruh baya yang merupakan kembar identik."Kami melihat dan
timbul rasa ingin berbagi. Kami ingin menjadikan anak-anak ini seperti
anak kandung kami. Semua (anak-anak Rossy dan Rian) sudah sukses," tutur
Rossy.
Itulah alasan awal yang mendasari mereka untuk membangun
sekolah gratis ini. Kemudian ketika ditanya, mengapa sekolah ini tidak
dipungut bayaran, Rian hanya menjawab dengan ringan, "Mereka ini kan
anak-anak pemulung, mau bayar pakai apa? Ya, kita gratiskan saja,"
ungkap Rian.
Sekolah gratis ini sudah berdiri lumayan lama, yaitu
selama 22 tahun. "Sekolah ini sudah berdiri 22 tahun, sudah banyak
lulusannya," jelas Rian, guru berumur 62 tahun ini.
Rentang
waktu yang lama tersebut, tidak dapat terjaga apabila Rossy dan Rian
tidak memiliki kekompakan, terutama terlihat dari cara mereka
berpakaian. Saat ditemui detikcom, Bu Guru Kembar --sapaan akrab kedua
wanita itu, memakai pakaian serba hijau. Topi anyam hijau, baju hijau,
dan celana pendek hijau. Kompak di pakaian, juga kompak soal visi dan
misi. Berkat kesamaan visi dan misi itulah, Bu Guru Kembar ini mampu
mempertahankan sekolah hingga 22 tahun.
Sekolah ini mengajar semua jenjang, dari TK hingga SMA. "Total siswa
kami ada 596 siswa," jelas Rossy sembari menenangkan para
siswa-siswanya. "Di sini, kami mengajarkan sesuai Kemendikbud. Itu kami
lakukan supaya anak-anak ini bisa ikut ujian negara," terang Rian.
Selain
itu, para siswa yang jumlahnya ratusan ini tidak hanya diajarkan
pelajaran-pelajaran yang ditetapkan Kemendikbud, mereka juga diajarkan
berbagai macam keterampilan di luar pelajaran sekolah pada umumnya.
"Kami ajarkan keterampilan membatik, membuat rajutan, bakery, masak,
membetulkan motor, dan tata rias. Semua diajarkan oleh kami berdua,"
ucap Rian.
Apa yang diutarakan oleh Guru Kembar ini langsung
terlihat. Pukul 13.20 WIB, para satu anak kelas 6 SD dan dua anak kelas 1
SMP, terlihat sibuk di depan sekolah. Semua bekerja sesuai tugasnya
masing-masing, ada yang menanak nasi, ada yang memotong sayuran, dan ada
yang mengawasi api. Kala itu, mereka memasak sup ayam dan tempe goreng.
"Di sini, kita memang menyediakan makan siang untuk anak-anak.
Tapi, yang masak itu anak-anak juga. Ada piketnya, semua ada giliran,"
kata Rian.
Ketika ditanya soal mengapa sekolah seperti ini masih
hadir, padahal semua sekolah negara sudah digratiskan, Rian menjawab
dengan antusias dan nada yang cukup tinggi. "Tahun 2006, anak-anak
semuanya dipindahin ke sekolah negeri, saat itu waktu kita kena gusur.
Tapi, pada akhirnya, semua balik kemari. Mereka nggak sanggup bayar LKS,
itu salah satu alasan," terang wanita yang tinggal di Kelapa Gading
ini.
Kini, Sekolah Darurat Kartini mendapat kendala. Kendala yang
sama, kendala yang selalu terjadi berulang-ulang, kendala yang seperti
menghantui ke mana pun mereka pergi. Kendala itu adalah penggusuran.
"Kami
akan digusur minggu depan, karena ini tanah milik PT. KAI," ucap Rian,
dengan sedikit menghela nafas. "Tapi, ya mau bagaimana lagi. Ini bukan
tanah kita, kita juga tidak bayar, ya kita pindah saja," tambahnya.
Selama 22 tahun sekolah gratis ini berdiri, sekolah ini sudah mengalami
penggusuran sebanyak empat kali. "Ini (penggusuran kali ini) akan
menjadi yang kelima. Kami terima saja," ucap Rossy. Nantinya, sekolah
ini akan pindah ke bawah kolong jalan tol.
Berbeda dengan Bu Guru
Kembar, para orangtua yang ditemui dan diwawancarai, mengaku keberatan
apabila sekolah ini digusur. Adalah Rita, ibu rumah tangga yang berumur
25 tahun, yang menyatakan rasa keberatannya.
"Di sini sudah
enak. Kehadiran sekolah ini sudah banyak membantu. Sayang, mau digusur.
Kalau pindah, saya bisa tambah jauh ke sekolahnya. Saya dan anak saya,
jalan kaki dari Bandengan soalnya," tukas Rita.
Hal senada juga
diungkapkan oleh Aji. Bocah laki-laki yang berkulit sawo matang dan
berumur 10 tahun ini mengatakan bahwa ia tahu akan adanya penggusuran
karena sudah betah belajar di sekolah ini, ia sangat menyayangkan
apabila harus pindah.
Anisa, teman sebangku Aji, juga
menceritakan kalau pindah di bawah jalan tol, maka proses belajar akan
terganggu. "Kalau di sini kan adem, kalau di bawah jalan tol panas,"
ucapnya.
Sampai berapa kali lagi, anak-anak dari golongan miskin ini harus berpindah-pindah lokasi belajar?
Sumber:
http://news.detik.com/read/2012/07/20/182450/1970949/10/1/kisah-bu-guru-kembar-dan-lika-liku-sekolah-gratis-kartini